Rabu, 23 Februari 2011

PERMENHUB TENTANG PENYELENGGARAAN ALAT BANTU NAVIGASI PELAYARAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN
NOMOR : 7 TAHUN 2005
TENTANG
PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERHUBUNGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2000 tentang Kenavigasian telah diatur ketentuanketentuan
mengenai penyelenggaraan sarana bantu
navigasi pelayaran;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan hal tersebut huruf a, perlu mengatur penyelenggaraan sarana bantu navigasipelayaran dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4001);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4145);
4. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan “International Convention for The Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974;
5. Keputusan Pesiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2004;
6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
173/AL.401/PHB-84 tentang Berlakunya The IALA Maritime Bouyage Sistem Untuk Region A Dalam Tatanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di Indonesia;
7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 24 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 42 Tahun 2004;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Sarana bantu navigasi pelayaran adalah sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami yang berada di luar kapal yang berfungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan berlayar.
2. Menara suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang bersuar dan mempunyai jarak tampak sama atau lebih 20 (dua puluh ) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan para navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal, menunjukan arah daratan dan adanya pelabuhan serta dapat dipergunakan sebagai tanda batas wilayah negara.
3. Rambu suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang bersuar dan mempunyai jarak tampak sama atau lebih dari 10 (sepuluh) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan kepada para navigator adanya bahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, dan bahaya terpencil serta menentukan posisi dan/atau haluan kapal.
4. Pelampung suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran apung dan mempunyai jarak tampak lebih kurang dari 6 (enam) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan kepada para navigator adanyabahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, kerangka kapal dan untuk menunjukan perairan aman serta pemisah alur.
5. Tanda siang (Day Mark) adalah sarana bantu navigasi pelayaran berupa anak pelampung dan/atau rambu siang untuk menunjukan kepada navigator adanya bahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, kerangka kapal dan menunjukan perairan yang aman serta pemisah alur yang hanya dapat dipergunakan pada siang hari.
6. Rambu radio (Radio Beacon) adalah sarana bantu navigasi pelayaran yang mengunakan gelombang radio untuk membantu para navigator dalam menentukan arah baringan dan/atau posisi kapal.
7. Rambu radar (Radar Beacon) adalah sarana bantu navigasi pelayaran yang dapat membantu para navigator untuk menentukan posisi kapal dengan menggunakan radar.
8. Kecukupan sarana bantu navigasi pelayaran adalah terpenuhinya sarana bantu navigasi pelayaran untuk mencakup perairan Indonesia sesuai dengan rasio yang ditetapkan.
9. Keandalan sarana bantu navigasi pelayaran adalah tingkat kemampuan sarana bantu navigasi pelayaran untuk menjalankan fungsinya sesuai ketentuan.
10. Kelainan sarana bantu navigasi pelayaran adalah kondisi berkurangnya optimalisasi fungsi sarana bantu navigasi pelayaran baik karena gangguan alam, gangguan teknis dan kesalahan manusia.
11. Pemilik kapal adalah orang atau badan hukum yang memiliki kapal.
12. Operator kapal adalah orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal.
13. Jarak aman adalah jarak tertentu kapal yang sedang berlayar, berolah gerak atau berlabuh jangkar terhadap sarana bantu navigasi pelayaran sehingga tidak menabrak dan/atau merusak sarana bantu navigasi pelayaran dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun dengan melaksanakan kecakapan pelaut yang baik.
14. Zona keamanan dan keselamatan adalah ruang disekitar sarana bantu navigasi pelayaran yang dibatasi oleh radius, tinggi dan/atau kedalaman tertentu.
15. International Assosiation of Lighthouse Authorities (IALA) adalah suatu badan dunia non pemerintah yang bersama para wakil dari negara-negara penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) untuk saling tukar informasi dan merekomendasikan improvisasi-improvisasi untuk sarana bantu navigasi pelayaran berdasarkan teknologi muktahir.
16. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara, daerah, swasta dan/atau koperasi.
17. Menteri adalah Menteri Perhubungan.
18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

BAB II
JENIS DAN FUNGSI
SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN
Pasal 2
(1) Jenis sarana bantu navigasi pelayaran terdiri dari :
a. sarana bantu navigasi pelayaran visual;
b. sarana bantu navigasi pelayaran elektronik;
c. sarana bantu navigasi pelayaran audible.
(2) Sarana bantu navigasi pelayaran berfungsi untuk :
a. menentukan posisi dan/atau haluan kapal;
b. memberitahukan adanya bahaya/rintangan pelayaran;
c. menunjukkan batas-batas alur pelayaran yang aman;
d. menandai garis-garis pemisah lalu lintas kapal;
e. menunjukkan kawasan dan/atau kegiatan khusus di perairan;
f. penunjukan batas negara.
Pasal 3
(1) Sarana bantu navigasi pelayaran visual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), huruf a meliputi :
a. pada siang hari dikenal dari warna, tanda puncak, bentuk bangunan,
kode huruf dan angka;
b. pada malam hari dapat dikenal dari irama dan warna cahaya.
(2) Sarana bantu navigasi pelayaran visual sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat ditempatkan di darat atau di perairan berupa :
a. menara suar;
b. rambu suar;
c. pelampung suar;
d. tanda siang.
Pasal 4
(1) Sarana bantu navigasi pelayaran elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b, digunakan untuk menyampaikan informasi melalui
gelombang radio atau sistem elektromagnetik lainnya untuk menentukan arah
dan posisi kapal.
(2) Sarana bantu navigasi pelayaran elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :
a. global position system (GPS);
b. differential global position system (DGPS);
c. radar beacon;
d. radio beacon;
e. radar surveylance;
f. medium wave radio beacon;
g. loran;
h. decca;
i. differential omega;
j. sarana bantu navigasi pelayaran elektronik lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi yang akan datang.
Pasal 5
(1) Sarana bantu navigasi pelayaran audible sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai posisisarana bantu navigasi pelayaran melalui suara.
(2) Sarana bantu navigasi pelayaran audible sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditempatkan pada sarana bantu navigasi pelayaran visual di daerah berkabut atau pandangan terbatas.

BAB III
PENYELENGGARAAN SARANA BANTU
NAVIGASI PELAYARAN

Pasal 6
Untuk terselenggaranya sarana bantu navigasi pelayaran secara optimal, Direktur Jenderal menetapkan :
a. perencanaan, pengadaan, pembangunan, pengawasan, pedoman dan standar pengoperasian dan pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran serta penerbitan dan penghapusan nomor daftar suar Indonesia (DSI) termasuk penyiarannya;
b kecukupan dan keandalan sarana bantu navigasi pelayaran termasuk sumber daya manusia yang mengoperasikannya.

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran dilakukan oleh Direktur Jenderal.
(2) Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan :
a. pengadaan;
b. pengoperasian; dan
c. pemeliharaan.
(3) Dalam keadaan tertentu Direktur Jenderal dapat menyerahkan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Pemerintah Daerah dan/atau Badan Hukum Indonesia setelah mendapat persetujuan dari
Menteri.
Pasal 8
Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. hasil survey lokasi untuk penempatan sarana bantu navigasi pelayaran sesuai dengan keselamatan pelayaran (kondisi geografis, alur pelayaran, perlintasan, pengembangan wilayah, keamanan dan keselamatan berlayar) serta arus lalulintas kapal (panjang garis kapal, kepadatan lalu lintas pelayaran, ukuran dan syarat kapal yang melayari alur) yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal;
b. persyaratan teknis :
1) sarana bantu navigasi pelayaran di darat :
a) pondasi dan konstruksi bangunan memenuhi standar konstruksi;
b) luas area menara suar sekurang-kurangnya 5000 M2, untuk rambu suar sekurang-kurangnya 400 M2;
c) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar internasional (IALA);
d) fasilitas menara suar meliputi :
(1) rumah penjaga menara suar tipe T.50;
(2) rumah generator 60 M2, gudang peralatan 50 M2 dan gudang
penampungan logistik di pantai 30 M2;
(3) bak penampungan air tawar 1 buah kapasitas minimum 25 M3
untuk setiap rumah kapasitas 5 M3;
(4) alat penolong dan keselamatan;
(5) sumber tenaga listrik yang memadai;
(6) jetty sesuai kebutuhan;
(7) sarana komunikasi.
2) sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang dibangun di perairan :
a) pondasi dan konstruksi bangunan memenuhi standar konstruksi;
b) ketinggian lantai rambu suar dipertimbangkan lebih tinggi dari
tingginya ombak;
c) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar Internasional (IALA).
3) sarana bantu navigasi pelayaran yang tidak tetap/terapung :
a) bahan pelampung, penjangkaran dan perlengkapannya memenuhi standar konstruksi (IALA);
b) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar Internasional (IALA);
c. tersedianya sumber pembiayaan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran yang memadai;
d. memiliki alat perlengkapan sarana bantu navigasi pelayaran.

Pasal 9
(1) Untuk memperoleh persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran, penyelenggara mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang dilengkapi :
a. peta lokasi;
b. izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan kegiatannya.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal melaksanakan survei lokasi untuk penempatan dan pemasangan sarana bantu navigasi pelayaran.
(3) Direktur Jenderal menyampaikan hasil penelitian terhadap permohonan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya survei.
(4) Pemberian atau penolakan atas permohonan persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil penelitian diterima secara lengkap dari Direktur Jenderal.
(5) Penolakan permohonan persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran disampaikan oleh Menteri secara tertulis dengan disertai alasan penolakan yang jelas.

Pasal 10
(1) Pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran sebelum dioperasikan, dilakukan pemeriksaan fisik oleh petugas yang ditunjuk Direktur Jenderal.
(2) Sarana bantu navigasi pelayaran yang akan dioperasikan, diberikan nomor tanda suar Indonesia oleh Direktur Jenderal.
(3) Direktur Jenderal menyusun, menerbitkan dan memperbaruhi buku daftar suar Indonesia wilayah Republik Indonesia.
Pasal 11
(1) Pengoperasian, pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran dilakukan oleh petugas pelayanan sarana bantu navigasi pelayaran yang memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi hal-hal sebagai
berikut :
a. sehat jasmani dan rohani;
b. tidak buta warna;
c. tidak cacad pendengaran;
d. tidak gagap;
e. tidak takut ketinggian;
f. bebas narkotika dan obat terlarang;
g. mempunyai kemampuan teknis dan/atau mempunyai pendidikan dan
pelatihan di bidang Kenavigasian.
yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter penguji yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal.

Pasal 12
Dalam penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran, penyelenggara diwajibkan :
a. menyampaikan laporan bulanan keandalan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal;
b. melaporkan secepatnya apabila terjadi kerusakan, tidak berfungsi dan setelah berfungsi kembali sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal;
c. melaksanakan pemeliharaan dan perawatan dalam rangka menjaga keandalan sarana bantu navigasi pelayaran.

Pasal 13
(1) Badan Hukum Indonesia dapat menyerahkan hasil pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal apabila sarana bantu navigasi pelayaran telah digunakan untuk kepentingan umum.
(2) Badan Hukum Indonesia dapat menyerahkan hasil pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu dilakukan survei terhadap sarana bantu navigasi pelayaran dan dinyatakan dalam kondisi laik operasi oleh Direktur Jenderal.
(3) Biaya pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran selama 2 (dua) tahun sejak diserahkan kepada Direktur Jenderal masih menjadi tanggung jawab Badan Hukum Indonesia.

Pasal 14
(1) Sarana bantu navigasi pelayaran yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Indonesa dapat dialihkan penyelenggaraannya kepada Badan Hukum Indonesia lainnya bersamaan dengan pengalihan fasilitas yang memerlukan sarana bantu navigasi pelayaran.
(2) Pengalihan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 15
(1) Sarana bantu navigasi pelayaran milik Badan Hukum Indonesia yang tidak dioperasikan lagi harus segera dibongkar dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
(2) Apabila sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dibongkar, Direktur Jenderal akan memerintahkan Badan Hukum Indonesia untuk melakukan pembongkaran.
(3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya perintah pembongkaran, Badan Hukum Indonesia tidak melakukan pembongkaran, Direktur Jenderal berwenang melakukan pembongkaran atas beban biaya Badan Hukum Indonesia.
(4) Sarana bantu navigasi pelayaran yang telah dibongkar, dihapuskan dari daftar suar Indonesia dan disiarkan oleh Direktorat Jenderal.

BAB IV
ZONA KEAMANAN DAN KESELAMATAN

Pasal 16
(1) Untuk menjamin keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran, ditetapkan zona-zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi dan bangunan sarana bantu navigasi pelayaran.
(2) Penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. wilayah yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan tidak terdapat bangunan atau tumbuhan yang dapat mengganggu fungsi sarana bantu navigasi pelayaran;
b. wilayah daratan yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan harus dibebaskan dari kepemilikan pihak lain.

Pasal 17
(1) Untuk memperoleh penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dilengkapi dengan bukti pemenuhan persyaratan.
(2) Pemberian atau penolakan atas penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan diterima secaralengkap.
(3) Penolakan permohonan disampaikan oleh Direktur Jenderal secara tertulis dengan disertai alasan penolakan yang jelas.

Pasal 18
(1) Zona keamanan dan keselamatan digunakan untuk keperluan lain yang mendukung sarana bantu navigasi pelayaran, harus mendapat izin Direktur Jenderal.
(2) Izin penggunaan zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan kepada Direktur Jenderal disertai alasan penggunaan zona keamanan dan keselamatan untuk keperluan lain.
(3) Pemberian atau penolakan izin penggunaan zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan diterima secara lengkap.

Pasal 19
Zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran diperuntukkan hanya bagi petugas kenavigasian dan sebagai batas pengamanan bagi konstruksi serta gangguan fungsi sarana bantu navigasi pelayaran.

Pasal 20
(1) Kapal yang berlayar disekitar sarana bantu navigasi pelayaran harus memperhatikan zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran dengan menjaga jarak aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik.
(2) Kapal yang memasuki alur pelayaran sempit, sungai dan danau pada waktu mendekati sarana bantu navigasi pelayaran apung wajib memperhatikan radius lingkaran putar dengan menjaga jarak aman sesuai kecakapan pelaut yang baik.
(3) Kapal yang berlabuh jangkar disekitar sarana bantu navigasi pelayaran wajib menjaga jarak aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik kecuali bagi kapal yang melaksanakan kegiatan pemeliharan dan/atau perawatan sarana bantu navigasi pelayaran.

Pasal 21
(1) Dilarang mendirikan bangunan dan/atau menanam pohon yang dapat menghalangi pandangan para navigator dan menggangu fungsi sarana bantu navigasi pelayaran.
(2) Dilarang merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana bantu navigasi pelayaran.
(3) Dilarang menambatkan kapal pada instalasi sarana bantu navigasi pelayaran.
(4) Dilarang berlabuh jangkar pada zona keamanan dan keselamatan sekitar sarana bantu navigasi pelayaran dengan jarak kurang dari 500 meter, kecuali pada perairan yang sempit dengan menjaga jarak yang aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik.

BAB V
KERUSAKAN DAN HAMBATAN

Pasal 22
(1) Tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan pada sarana bantu navigasi pelayaran dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. membangun di dalam zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran;
b. memasang, menempatkan sesuatu pada sarana bantu navigasi pelayaran;
c. mengubah sarana bantu navigasi pelayaran;
d. merusak atau menghancurkan atau menimbulkan cacat sarana bantu navigasi pelayaran;
e. menambatkan kapal pada sarana bantu navigasi pelayaran.

Pasal 23
(1) Pemilik dan/atau operator kapal yang karena pengoperasian kapalnya menyebabkan kerusakan dan/hambatan sarana bantu navigasi pelayaran, wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal.
(2) Atas laporan pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud dalam \ayat (1), Direktur Jenderal menyiarkan kelainan dan berfungsinya kembali sarana bantu navigasi pelayaran keseluruh kapal dan diteruskan kepada instansi terkait untuk dimasukkan dalam berita pelaut Indonesia.
(3) Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi data sebagai berikut :
a. nama lokasi;
b. jenis sarana bantu navigasi pelayaran;
c. nomor daftar suar Indonesia;
d. posisi;
e. periode/irama (uraian periode) dan sumber tenaga;
f. warna cahaya;
g. jarak tampak;
h. elevasi;
i. kondisi sarana bantu navigasi pelayaran;
j. kode dari racon (jika ada).

Pasal 24
(1) Pemilik dan/atau operator kapal yang kapalnya terbukti menyebabkan kerusakan dan/atau hambatan sarana bantu navigasi pelayaran wajib mengganti atau memperbaiki sarana bantu navigasi pelayaran sehingga dapat berfungsi kembali.
(2) Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak mulainya kerusakan.

Pasal 25
(1) Penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran dapat melakukan perbaikan dan/atau penggantian sarana bantu navigasi pelayaran yang rusak dan/atau hambatan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal.
(2) Dalam hal perbaikan dan/atau penggantian yang dilakukan oleh penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang diperlukan dibebankan kepada pemilik dan/atau operator kapal.

Pasal 26
(1) Tanpa mengurangi tanggung jawabnya mengganti atau memperbaiki sarana bantu navigasi pelayaran yang karena pengoperasian kapalnya mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan terhadap sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pemilik dan/atau operator kapal dapat memberikan ganti rugi yang meliputi biaya penggantian atau perbaikan.
(2) Pemilik dan/atau operator kapal yang akan memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib meninggalkan jaminan untuk pelaksanaan ganti rugi sebelum kapal berlayar.
(3) Jaminan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat sarana bantu navigasi pelayaran yang mengalami kerusakan dan/atau hambatan.
(4) Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), memberikan bukti penitipan jaminan ganti rugi kepada pemberi jaminan dengan tembusan kepada pemilik sarana bantu navigasi pelayaran.
(4) Dalam hal pemberi jaminan telah melaksanakan seluruh kewajiban dalam kaitan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jaminan ganti rugi dapat diambil kembali.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 27
Ketentuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran dalam Peraturan ini berlaku juga bagi penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran di lokasi bangunan lepas pantai.

Pasal 28
Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Peraturan ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29
Dengan berlakunya Ketentuan ini, maka Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 261/AL-001/PHB-87 tentang Penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Pada Lokasi Bangunan Lepas Pantai dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 30
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal :
________________________
MENTERI PERHUBUNGAN




M. HATTA RAJASA

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
4. Menteri Negara Perencanaan pembangunan Nasional/Ketua Bappenas;
5. Menteri Keuangan;
6. Menteri Dalam Negeri;
7. Menteri Perindustrian;
8. Menteri Perdagangan;
9. Menteri Kelautan dan Perikanan;
10. Menteri Pekerjaan Umum;
11. Menteri Sekretaris Negara;
12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
13. KAPOLRI dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut;
14. Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal, para Kepala Badan di lingkungan
Departemen Perhubungan;
16. Para Gubernur seluruh Indonesia;
17. Para Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
◄ Newer Post Older Post ►