Kamis, 03 Maret 2011

Calon Spesies Baru Sidat

Sidat Kita

Sidat Kita
Sidat, kalau boleh dibilang adalah binatang petualang, karena fase hidupnya yang berpindah-pindah dari tiap fasenya, namun karena sudah melalang buana tersebut akhirnya ikan ini menjadi sangat mahal dan terkenal di luar sana. Berikut kutipan dari hasil penelitian seorang ahli sidat.
Jakarta, Kompas – Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat
ditemukan dalam studi keragaman, distribusi, dan kelimpahan di
perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu berpeluang menjadi
spesies baru atau variasi intra-spesies.
Untuk sementara, temuan itu diberi nama Anguilla sp. Yang sudah bisa
dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan Indonesia. “Dari tujuh jenis itu, ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi,” kata Hagi Yulia Sugeha, peneliti sidat pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pekan lalu di Jakarta.
Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut. Bedanya, sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada bagian atas tubuhnya.
Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi
lingkungan. Sebelum berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui
fase transparan (ketika memasuki perairan tawar) dan berubah menjadi
kuning.
Umumnya, ketika sidat dalam fase kuning itulah banyak terjerat
pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak sungai,
sungai, dan danau.
Siklus hidup sidat berbalik dengan ikan salmon. Sidat dewasa (bisa
berusia belasan tahun) memijah di laut berkedalaman 200-1.000 meter,
sebelum kemudian bertumbuh dewasa mencari perairan tawar. Adapun
salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut. Keduanya akan
mati setelah bertelur.
“Hasil penelitian menunjukkan, perairan laut Sulawesi menjadi pusat
pemijahan sidat tropis,” kata peneliti yang pernah menangkap jenis
sidat (Anguilla marmorata) sepanjang 1,72 meter seberat 11 kilogram
(2002) di Danau Poso. Temuan itu diperkuat dua kali penelitian
menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII. “Perairan laut di wilayah
tengah Indonesia memang melimpah,” kata Sam Wouthuyzen, rekan satu
tim dengan Yulia.
Populasi terancam
Menurut Yulia, seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di
negara-negara maju, seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang,
Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat tropis pun terancam.
Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan
impor sidat tropis meningkat.
Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari telur.
Yang terjadi, sidat-sidat anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu
dibesarkan di kolam budidaya. Sidat-sidat itu kemudian diolah di
restoran-restoran mewah bertarif mahal.
Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di restoran jepang yang
satu porsinya dijual sekitar Rp 400.000, permintaan sidat tidak
pernah menurun. “Di Jepang ada hari khusus mengonsumsi sidat,” kata
Yulia, doktor lulusan Universitas Tokyo.
Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan
sidat dari ukuran larva di laboratorium. Untuk mencegah kepunahan
sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan harus selektif.
By. Sidat Kita

◄ Newer Post Older Post ►