Selasa, 22 Maret 2011

FTZ BBK Idealnya Fokus di Industri Manufaktur



BATAM – Pengelola kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun mestinya fokus pada pengembangan industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja, bukan sektor konsumsi atau perdagangan yang justru berdampak mematikan industri konsumsi dalam negeri.




Menteri Perindustrian, M.S Hidayat mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dapat memfokuskan pengembangan industri di kawasan FTZ BBK pada tiga bidang yakni industri galangan kapal, industri elektronik dan industri penunjang Minyak dan gas.

“Lokasi strategis Batam, Bintan dan Karimun sangat menunjang dijadikanya sebagai pusat industri galangan kapal di dalam negeri, dan saat ini sudah lebih dari 100 perusahaan galangan kapal berdiri di BBK,” katanya, dalam diskusi terbatas membahas FTZ BBK di Batam, Selasa (22/3).

Ketiga industri tersebut sudah cukup berkembang di Batam dan bisa terus ditingkatkan jika Pemerintah daerah bisa memberi layanan birokrasi yang nyaman pada investor yang ingin masuk. Terlebih saat ini sejumlah perusahaan manufaktur khususnya otomotif dan elektronik di Jepang sedang mencari daerah baru untuk merelokasi pabriknya dari Jepang paska bencana gempa bumi dan Tsunami yang melanda negara itu.

Peneliti The Habibie Centre, Zamroni Salim mengatakan, daerah perdagangan dan pelabuhan bebas idealnya memang dikembangkan untuk industri berbasis tenaga kerja, karena pemerintah tidak memungut bea masuk dan pajak atas barang yang masuk dan keluar dari kawasan tersebut.

Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki pendapatan atas pungutan pajak dan bea masuk sepertihalnya daerah lain.

Kehilangan pendapatan pemerintah atas pajak dan bea masuk tersebut, mestinya digantikan dengan pendapatan yang diterima rakyat dengan adanya lapangan pekerjaan, sehingga pengangguran.

Ironisnya, sejak beberapa tahun terakhir struktur ekonomi Batam mengalami pergeseran. Sektor industri yang dulunya memberi kontribusi utama terhadap pendapatan masyarakat ataupun PDRB Batam secara perlahan mulai menurun, sedangkan sektor perdagangan justru meningkat.

Data dari Badan Pengusahaan FTZ Batam menyebut pada tahun 2001 sampai 2005 struktur ekonomi Batam 70 persennya di sumbang dari sektor industri. Namun sejak tahun 2006 sampai saat ini kontribusinya turun dibawah 60 persen. Sedangkan sektor perdagangan dari 10 persen meningkat menjadi 25-30 persen.

Zamroni kuatir meningkatnya sektor perdagangan justru memicu aksi penyelundupan. Pasalnya, dengan jumlah penduduk sekitar 1 juta jiwa, maka Batam tidak membutuhkan pertumbuhan sektor perdagangan yang signifikan, karena dikuatirkan produk konsumsi yang masuk ke Batam dalam jumlah berlebihan atau oversuplly tersebut akan di kirim atau diselundupkan ke berbagai daerah di Indonesia.

Hambatan Birokrasi

Terkait dengan pengembangan industri di Batam, Zamroni mengatakan hingga saat ini birokrasi yang ada di kawasan FTZ BBK masih menghambat investor untuk menanamkan modalnya. Misalnya ketidakjelasan pembagian wewenang antara Dewan Kawasan, BP Kawasan dan Pemko Batam.

Untuk itu, Zamroni menyarankan pemerintah pusat untuk memberi kewenangan kepada satu lembaga sebagai refresentatif Pemerintah pusat di BBK. Pemerintah bisa memanfaatkan BP Batam yang dulunya Otorita Batam sebagai lembaga refresentatif tersebut karena BP Batam memiliki pengalaman dan jaringan yang sudah cukup kuat.

“Kewenangan BP Batam bisa diperluas hingga Bintan dan Karimun untuk menciptakan sistem birokrasi yang lebih efektif di FTZ BBK,” katanya. (gus).






◄ Newer Post Older Post ►