Selasa, 22 Maret 2011

Mari Menuju Industri Rumput Laut

Majalah TROBOS Edisi JuliRumput laut kian mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tak main-main, perhatian tersebut bukan hanya datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tapi juga dari Kementerian Perindustrian. Satu tujuan yang ingin dicapai, mendirikan industri hilir rumput laut yang yang mengolah komoditas tersebut sejak awal hingga produk akhir di dalam negeri.

Tekad itulah yang mengemuka dalam Forum Bisnis dan Investasi Rumput Laut di Surakarta, Jawa Tengah Mei lalu. Wakil Menteri Perindustrian Alex S Retraubun pada acara tersebut mengatakan bahwa rumput laut telah menjadi fokus perhatian dan pengembangan di Kementerian Perindustrian periode  2010 - 2014.
“Kami mentargetkan, setidaknya pada 2012 sudah ada sebuah industri hilir rumput laut yang mengolah komoditas tersebut sejak awal hingga produk akhir di dalam negeri,” ujarnya. Disebutkan Alex, 50% kebutuhan rumput laut dunia yang mencapai 1,9 juta ton per tahun adalah berasal dari Indonesia.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada industri pengolahan rumput laut dari produk awal hingga akhir di tanah air. Rumput laut hanya dijual dalam bentuk bahan mentah. Antara lain ke Jerman, China, Amerika Serikat, Chili, serta Jepang. Mereka selanjutnya mengolah dan menjual rumput laut tersebut dalam bentuk produk jadi dengan harga yang lebih tinggi. “Ini berarti Indonesia hanya berkontribusi menambah kekayaan negara lain. Kita sendiri tidak mendapat nilai tambah," imbuhnya.
Padahal, nilai rumput laut bisa sangat melonjak jika diolah. Direktur Jenderal  Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, Martani Huseini pada kesempatan yang sama memberikan gambaran sebagai berikut. Dalam bentuk bahan mentah (kering), harga rumput laut (jenis Eucheuma cottonii) berkisar Rp 10.000 per kg. Jika diolah lebih lanjut menjadi Alkali Treated Cottonii Chips (ATCC) atau rumput laut kering potong, harganya menjadi Rp 50.000 per kg.
Tahapan pengolahan berikutnya menghasilkan Semi Refined Carrageenan (SRC) atau karaginan setengah murni yang harganya mencapai Rp 70.000 per kg. Bentuk olahan setelah SRC adalah Refined Carrageenan (RC) atau karaginan murni yang jika digunakan untuk industri harganya mencapai Rp 180.000 per kg dan untuk makanan harganya mencapai Rp 200.000 per kg.

Menurut Martani, usaha rumput laut sangat menguntungkan. Antara lain karena permintaannya yang besar baik di dalam dan luar negeri, modal investasi kecil yang hanya berkisar Rp 5 - 7 juta/unit, mudah diproduksi dan menyerap tenaga kerja. “Karena itulah perlu ada suatu sistem usaha rumput laut yang memadukan aktivitas hulu sampai hilir dalam satu manajemen, yaitu minapolitan industri rumput laut,” tegasnya. 
 Namun, bagi Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis, tekad dan komitmen saja belum cukup untuk mengembangkan industri rumput laut nasonal. ”Kita belum punya cetak biru, peta dan strategi nasional sehingga tujuan tidak jelas. Faktanya pemerintah seakan berjalan sendiri tanpa bicara dengan swasta. Semua program hanya project oriented (berorientasi proyek). Ini yang harus dirubah dan harus ada monitoring (pemantauan),” Azis tegas mengkritisi.

Menanggapi hal ini, Direktur Pengolahan Hasil Perikanan P2HP KKP, Santoso secara terpisah kembali menggarisbawahi pernyataan Martani. Bahwa minapolitan merupakan desain besar bagi pengembangan industri rumput laut. ”Minapolitan juga sebagai cetak biru dan strategi untuk bergerak ke industri hilir. Di dalamnya sudah ada strategi pengembangan sumber bahan baku, industri dan pendukungnya yang mencakup teknologi, mesin, dan sentra pengolahan,” urainya. 

ATCC Tahap Awal
Lepas dari tekad dan komitmen pemerintah yang masih harus ditunggu realisasinya, yang pasti telah ada rencana pengembangan industri pengolahan rumput laut di Indonesia. Sekretaris Direktorat Jenderal P2HP - KKP, Victor PH Nikijuluw secara umum menjelaskan rencana tersebut.
Industri rumput laut yang paling mungkin dikembangkan adalah pengolahan Alkali Treated Cottonii (ATC). Ini jadi pilihan pertama karena Indonesia baru masuk ke industri pengolahan. Selain itu, penggunaan ATC di internasional lebih banyak sehingga peluang ekspor lebih banyak. ”Jadi ATC adalah untuk tahap awal, harapan ke depan bisa sampai mengolah SRC dan RC,” kata Victor.
Selengkapya baca diMajalah TROBOS Edisi Juli 2010
◄ Newer Post Older Post ►