Selasa, 22 Maret 2011

Melirik Potret Bisnis Perikanan Negeri Gajah Putih

Reklame yang menampilkan foto pria yang sedang asyik makan sup pangsit udang (shrimp wonton soup) terpampang sepanjang perjalanan menuju Pabrik Charoen Pokphand Foods (CPF) di Provinsi Samut Sakhon Thailand. Pangsit udang merupakan salah satu produk siap saji andalan CPF. Bahkan bukan hanya di jalan raya, iklan produk olahan udang itu ternyata juga dipajang dalam monorail (kereta listrik) dan ditayangkan pada siaran televisi lokal.

Sebagian besar perusahaan perikanan Thailand memiliki usaha yang terintegrasi mulai dari budidaya hingga pengolahannya

Kejayaan perusahaan grup Charoen Pokphand asal Negeri Gajah Putih itu memang benar-benar tergambar saat TROBOS mengunjungi Thailand pada 27 - 29 September lalu. Kunjungan itu dalam rangka memenuhi undangan N.C.C. Exhibition Organizer (NEO), penyelenggara Aquatic Asia 2011. Kesempatan sangat berharga ini dimanfaatkan untuk mengintip seperti apa perkembangan industri perikanan di Thailand.

Rangkaian kunjungan ini merupakan bagian dari promosi NEO menjelang gelaran Aquatic Asia 2011 di Thailand. Sejumlah perwakilan media lokal dan internasional diundang dalam kunjungan selama 3 hari ini. Kebetulan TROBOS satu-satunya wakil media dari Indonesia.

Tiga hari terasa tidak cukup untuk melihat-lihat industri perikanan Thailand yang berkemang begitu pesat. Keseriusan Thailand menggarap agribisnis perikanan sangat kentara. Produk perikanan Thailand di kancah internasional cukup mendominasi meninggalkan pesaing-pesaingnya di kawasan Asia Tenggara.
Sudah lama jadi produsen udang nomor wahid di dunia, kini negara yang tak kenal penjajah itu gencar menggenjot produksi ikan nila, lele, kakap, dan kerapu. Yang menarik, dikatakan Ahli Senior Produk Perikanan Departemen Perikanan Thailand Niracha Wongchinda, produksi komoditas-komoditas tersebut dilakukan dengan konsep berkelanjutan (sustainable), bebas antibiotik, dan memperhatikan lingkungan. ”Serta pasca panennya dititik-beratkan pada keamanan pangan,” tambahnya lugas.

Hebatnya lagi, negara seluas 513.120 km persegi atau hanya seperempatnya dari luas Indonesia ini sukses meramu perikanan menjadi industri besar berkonsep ”From Farm to Table”. Thailand sadar betul efek positif industri pengolahan pada finansial negaranya, ketimbang hanya berorientasi produksi. Intinya, negara pengekspor beras terbesar dunia ini mampu melahirkan nilai tambah (value added) dari komoditas perikanan yang mereka produksi. 

Ini terpotret jelas ketika mendengar pemaparan Presiden Asosiasi Produk Perikanan Beku Thailand Dr Panisuan Jamnarnwej. Ia mengatakan, sebagian besar dari 212 perusahaan anggota asosiasi memiliki usaha yang terintegrasi mulai dari budidaya hingga pengolahannya.

Dari diskusi TROBOS dengan Niracha, Dr Panisuan, serta pelaku bisnis dan budidaya perikanan terdapat satu pesan implisit bahwa hubungan antara pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha, serta akademisi terjalin harmonis dan bersifat sinergis. Dr Panisuan yang juga seorang pengusaha dan akademisi mengatakan, banyak hasil penelitian dari Universitas Kasetsart dan Universitas Chulalongkorn yang diadopsi oleh para pelaku budidaya perikanan. 

Lalu para pelaku bisnis dan budidaya mengaku, mereka sangat terbantu dengan informasi terkait pasar dan manajemen pemeliharaan yang diberikan oleh pemerintah dan terutama asosiasi. Niracha menuturkan bahwa pihaknya terus berupaya mendorong para pelaku untuk terus maju, berkembang, dan kompetitif.
◄ Newer Post Older Post ►