Kamis, 17 Maret 2011

Pengaruh Kualitas Auditor, Corporate Governance, Leverage Dan Kinerja Keuangan Terhadap Manajemen Laba (EKN-140)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu sumber informasi dari pihak eksternal dalam menilai kinerja perusahaan adalah laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku bersangkutan. Laporan keuangan dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan.


Laporan keuangan juga digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan lain salah satunya yaitu sebagai laporan kepada pihak di luar perusahaan. Kinerja manajemen perusahaan tercermin pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No 1. informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen. Selain itu informasi laba juga membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan dimasa yang akan datang.
Informasi laba ini sering menjadi target rekayasa tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasaannya, tetapi dapat merugikan pemegang saham atau investor. Tindakan oportunis tersebut dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur, dinaikkan maupun diturunkan sesuai dengan keinginannya. Perilaku manajemen
untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya ini dikenal dengan istilah manajemen laba (earnings management).

Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri (manajer). Salah satu cara untuk mengukur manajemen laba adalah dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual (DA). Discretionary Accrual adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajer, artinya manajer memberi intervensinya dalam proses pelaporan akuntansi. Manajemen laba berbeda dengan perataan laba (income smooting) karena perataan laba (income smooting) adalah tindakan untuk meratakan laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan, dengan tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor, karena umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil. Oleh karena itu perataan laba (income smooting) merupakan bagian dari manajemen laba (Gumanti, 2000).

Manajemen laba diduga muncul atau dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukannya (Gumanti, 2000). Tindakan manajemen laba tersebut dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan untuk mengambil keputusan, karena manajemen laba merupakan suatu bentuk manipulasi atas laporan keuangan yang menjadi sasaran komunikasi antara manajer dan pihak eksternal perusahaan.

Tindakan earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck,
WorldCom, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al.,

2006). Beberapa kasus juga terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Boediono, 2005).

Tindakan manajemen laba tersebut dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring yang bertujuan untuk menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan yang disebut corporate governance. Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan.

Menurut Barnhart dan Rosenstein (1998), mekanisme corporate governance meliputi mekanisme internal, seperti adanya struktur dewan direksi, kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif, dan mekanisme eksternal, seperti pasar untuk kontrol perusahaan, kepemilikan institusional dan tingkat pendanaan dengan hutang (debt financing). Sedangkan menurut Veronica dan Bachtiar (2004), beberapa mekanisme corporate governance antara lain diwujudkan dengan adanya dewan direksi, komite audit, kualitas audit , dan kepemilikan institusional.

Chtourou et al. (2001) dan Midiastuty dan Machfoedz (2003) yang meneliti tentang hubungan antara kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan ukuran dewan direksi yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berhubungan negatif dengan manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berhubungan positif dengan manajemen
laba. Hasil penelitian ini berkontradiksi dengan Boediono (2005) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan komisaris memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba.

Beberapa penelitian di atas merupakan penelitian terhadap perusahaan- perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selain sektor perbankan. Oleh karena itu, perlu suatu penelitian tentang efektivitas corporate governance pada industri perbankan karena karakteristik dan kompleksitas industri perbankan yang berbeda dengan sektor lain.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, disebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk menjalankan aktivitasnya perbankan harus mempunyai integritas tinggi supaya masyarakat memiliki kepercayaan dalam rangka menjalin hubungan kerja.

Perbankan adalah perusahaan “kepercayaan”, sehingga apabila perusahaan diketahui melakukan tindak manajemen laba otomatis kepercayaan investor akan berkurang dan satu persatu ataupun bersama-sama akan melakukan penarikan dana sehingga bisa menimbulkan rush (penarikan dana secara besar-besaran) yang kemudian akan merugikan bank tersebut bahkan menyebabkan bank tersebut collapse (bangkrut). Bank Indonesia sebagai pengawas semua bank yang ada di
Indonesia menerapkan cara penilaian kesehatan bank dengan berdasarkan pada laporan keuangan keuangan.

Penilaian atas status suatu bank (apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak) dengan menggunakan laporan keuangan itulah yang menyebabkan manajer memiliki inisiatif untuk melakukan manajemen laba supaya perusahaan mereka dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh BI (Setiawati dan Na’im, 2001). Untuk mencegah tindakan manajemen laba di perbankan tersebur maka Bank Indonesia selaku regulator lembaga perbankan telah mengeluarkan banyak peraturan yang terkait langsung dengan upaya penerapan Good Corporate Governance (GCG) antara lain dikeluarkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dibentuk tahun 2004 yang mempunyai visi untuk menciptakan suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada tahun 2008 pemerintah juga membentuk Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/4/DPNP tanggal 27 Januari tahun 2009 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. Dengan PAPI diharapkan dapat terjadi peningkatan transparansi kondisi keuangan bank sehingga laporan keuangan bank menjadi semakin relevan, komprehensif, handal, dan dapat diperbandingkan.
Bank Indonesia sebagai badan yang mengawasi semua bank yang ada di Indonesia tahun 2006 mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
bank umum. Dalam peraturan tersebut tercantum hal mengenai keanggotaan komisaris independen dan komite audit yang bertugas mengawasi kinerja bank berdasarkan informasi-informasi dalam laporan keuangan.

Penelitian tentang pelaksanaan corporate governance di perbankan antara lain dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007) yang menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh negatif, sedangkan ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba di perbankan. Hasil ini berbeda dengan Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menyebutkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen laba, sedangkan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Selain penerapan corporate governance yang baik untuk meminimalkan manajemen laba terdapat faktor lain yang dapat menimbulkan manajemen laba oleh manajer.

Widyaningdyah (2001) mengungkapkan bahwa jika hutang yang dipergunakan secara efektif dan efisien maka akan meningkatkan nilai perusahaan. Tetapi apabila dilakukan dengan dalih untuk menarik perhatian para kreditur, maka justru akan memicu manajer untuk melakukan manajemen laba.

Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi akibat besarnya jumlah utang dibandingkan dengan aktiva yang dimiliki perusahaan, diduga melakukan manajemen laba karena perusahaan terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya. Widyaningdyah (2001), Tarjo (2008), dan Halim et al. (2005) mengatakan bahwa leverage berpengaruh positif
dan signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan berdasarkan Indrayani (2009)
dan Nurlatifiyanti (2008) leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Menurut Watts dan Zimmerman (dalam Sulistyanto, 2008), pemeriksaan laporan keuangan oleh kantor akuntan publik juga dapat digunakan sebagai monitoring terhadap tindakan manajemen yang oportunistik dalam melaporkan kinerja perusahaan. Jasa audit merupakan alat monitoring terhadap kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara kepentingan antara pemilik dengan manajer dan antara pemegang saham dengan jumlah kepemilikan yang berbeda serta dapat mengurangi asimetris informasi antara manajer dengan stakeholder perusahaan dengan memperbolehkan pihak luar untuk memeriksa validitas laporan keuangan (Jensen dan Meckling, 1976).
Pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor memiliki kualitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, auditing berkualitas tinggi (high- quality auditing) bertindak sebagai pencegah manajemen laba yang efektif, karena reputasi manajemen akan hancur dan nilai perusahaan akan turun apabila pelaporan yang salah ini terdeteksi dan terungkap (Ardiati, 2005).

Manajemen laba yang terjadi pada perusahaan yang diaudit oleh auditor yang termasuk Big Six lebih rendah daripada auditor Non Big Six. Menurut Becker et al. (dalam Sanjaya, 2008) auditor Non Big Six lebih dapat menggunakan akuntansi secara fleksibel. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Meutia (2004) dan Nuraini dan Sumarno (2007) yang menyatakan bahwa tindakan manajemen laba terhadap hasil audit yang dilakukan oleh KAP Big Four lebih rendah daripada KAP Non Big Four.

Fan dan Wong (2001) yang melakukan penelitian di Asia Timur yang menguji pengaruh auditor Big Five dan Non Big Five menyatakan bahwa kualitas auditor tidak mempengaruhi manajemen laba. Ketidakkonsistenan ini pula yang menyebabkan peneliti ingin menguji kualitas auditor dalam penelitiannya.

Selain melihat hasil audit yang telah dilakukan oleh KAP Big Four, kinerja perusahaan juga dapat menjadi tolok ukur para investor untuk melihat perkembangan perusahaan. Sehingga manajer akan melakukan berbagai cara untuk menampilkan kinerja yang terbaik untuk menarik investor. Ketika laba perusahaan pada saat ini meningkat maka manajer akan melakukan tindakan manajemen laba dengan menaikkan laba (Halim et al., 2005). Begitu pula sebaliknya, jika laba masa depan meningkat maka manajer akan menurunkan laba saat ini. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menyatakan bahwa kinerja keuangan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Penentuan kinerja keuangan sebagai faktor yang mempengaruhi manajemen laba berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawati dan Na’im (2000) yang menyatakan bahwa manajemen laba dilakukan oleh bank yang mengalami penurunan tingkat kesehatan sebagai salah satu indikator kinerja keuangan bank. Penilaian kinerja keuangan pada perbankan berdasarkan pada tiga rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, rasio rentabilitas, dan rasio solvabilitas (Dendawijaya, 2003). Pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai proksi rasio solvabilitas. CAR dipilih karena variabel tersebut menempati persentase yang tertinggi dalam kriteria penilaian
bank oleh Biro Riset Infobank (2009) yaitu sebesar 20,00%. CAR merupakan hal yang harus dipertahankan jika bank tersebut ingin mendapat kehormatan sebagai bank yang berkinerja sangat bagus (Biro Riset Infobank, 2009).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh Kualitas Auditor, Corporate Governance, Leverage dan Kinerja Keuangan Terhadap Manajemen Laba (Studi pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2008)”.


◄ Newer Post Older Post ►