Kamis, 17 Maret 2011

Pengaruh Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri, Dan Belanja Modal Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi ..(EKN-141)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak lepas dari berbagai hambatan dan tantangan dalam pembangunan. Masalah kemiskinan, rendahnya modal, rendahnya kualitas sumber daya manusia adalah beberapa contoh masalah pembangunan yang harus segera diatasi, termasuk masalah keamanan dan politik yang belum stabil. Dalam kaca mata ekonomi, salah satu cara untuk mengatasi berbagai masalah tersebut adalah dengan mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi.


Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran yang nyata dari dampak suatu kebijakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan tersebut dimaksudkan sebagai laju pertumbuhan yang terbentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi. Bagi daerah, ini merupakan suatu indikator yang penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan dan berguna untuk menentukan arah kebijakan pembangunan di masa yang akan datang. Laju pertumbuhan suatu daerah dapat ditunjukkan dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

PDRB yang lebih rendah dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat, dengan pertumbuhan sebesar 6,01 persen. Stelah Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai PDRB dengan pertumbuhan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,42 persen. PDRB yang lebih rendah dari Jawa Tengah adalah Provinsi Banten yang merupakan provinsi yang baru terbentuk di Pulau Jawa, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,25 persen.

Bila diperingkat, rata-rata pertumbuhan PDRB selama tahun 2005 hingga tahun 2007, DKI Jakarta memiliki pertumbuhan yang paling tinggi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 6,13 persen pertahun. Kemudian Jawa Barat, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,01 persen pertahun. Selanjutnya Jawa Timur memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 5,92 persen pertahun, dan Banten dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 5,83 persen pertahun. Meskipun Jawa Tengah memiliki nilai PDRB lebih tinggi dibandingkan Banten, namun tiap tahunnya hanya tumbuh sebesar 5,42 persen. Rata-rata pertumbuhan PDRB paling rendah dimiliki oleh Provinsi DIY dengan nilai 4,25 persen pertahun.

Nilai PDRB pada suatu tahun, bila dibagi dengan jumlah penduduk tahun tersebut akan menghasilkan PDRB per kapita yang biasa digunakan untuk melihat kesejahteraan penduduk pada tahun tersebut.

Provinsi Jawa Tengah merupakan juru kunci perkembangan ekonomi diantara enam provinsi di Pulau Jawa. Dengan menggunakan variabel PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi, maka Jawa Tengah termasuk dalam kelompok “RR” (rendah-rendah) bersama dengan Propinsi D.I Yogyakarta. Artinya, baik dari segi PDRB per kapita maupun laju pertumbuhan ekonomi, kedua propinsi tersebut berada di bawah rata-rata nasional. Sedangkan, Jawa Tengah, adalah yang paling rendah dalam kelompok “RR” tersebut. Jawa Tengah adalah tulang punggung nasional karena menampung 16 persen lebih penduduk Indonesia (Alex Emyll, 2005).

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan sebagai penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Pembangunan daerah diharapkan dapat memotivasi peningkatan kreatifitas dan inisiatif untuk dapat lebih menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, dan dilaksanakan secara terpadu, serasi, terarah, agar pembangunan di tiap daerah dapat benar-benar sesuai dengan prioritas dan potensi daerahnya ( Nugroho, 2002).

Idealnya, setiap proses pembangunan termasuk di daerah didasarkan atas kemampuan sendiri (self reliant development) dengan mengoptimalkan semua potensi sumber daya yang dimiliki. Namun keinginan seperti itu sangat sulit diwujudkan. Kondisi objektif menunjukan bahwa daerah-daerah biasanya mengalami kesulitan dalam membangun perekonomian karena keterbatasan sumber daya manusia, keterbelakangan teknologi dan kekurangan modal.

Dari ketiga hal tersebut yang sering mendapat perhatian lebih adalah masalah kekurangan modal (Hendra, 1991). Dalam konteks inilah pemerintah memandang perlunya menempuh kebijaksanaan yang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada sektor swasta, baik domestik maupun asing, untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Adapun bentuk partisipasi ini adalah penanaman modal atau investasi.

Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan pembangunan sehingga investasi pada hakekatnya juga merupakan awal kegiatan pembangunan ekonomi. Urgensi tentang pembentukan modal di daerah juga mendapat perhatian dan penekanan oleh Zaris (1987) yang menyatakan bahwa investasi swasta memainkan peranan penting dalam membentuk pola pembangunan di daerah. Investasi ini akan menyebabkan terbentuknya modal daerah (regional capital formation). Hal ini merupakan konsekwensi logis dari terbatasnya sumber daya, teknologi dan modal yang dimiliki oleh daerah.

Untuk Jawa Tengah usaha-usaha menjalankan program pembangunan melalui kebijakan penanaman modal swasta sebenarnya telah dilakukan sejak pelita I yaitu dengan dikeluarkannya serangkaian kebijakan oleh pemerintah
daerah dalam hal ini Badan Penanaman Modal setempat dan mendapatkan momentumnya pada awal pelita III dimana peran swasta dalam pembangunan pada waktu itu dirasakan sangat diperlukan. Inti dan maksud dari berbagai kebijakan tersebut tentu saja agar para investor mau menanamkan modalnya di Jawa Tengah.
◄ Newer Post Older Post ►