Selasa, 15 Maret 2011

rusaknya terumbu karang indonesia (jurnal)

USUH terbesar pengelolaan terumbu karang adalah kemiskinan. Warga pelaku tindak destruktif di wilayah kelautan, sebenarnya tidak ada maksud untuk menambang terumbu karang namun karena kemiskinan membelit, mereka terpaksa melakukannya demi kebutuhan yang sangat manusiawi.
Hal ini diungkapkan Sudirman Saad,

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikan-an di sela-sela Kegiatan Fasilitasi dan Koordinasi Percepatan Kebijakan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang, di Hotel Clarion Makassar, Jumal, (19/11). Kegiatan yang berlangsung dua hari ini diikuti sejumlah bupati atau kepala daerah untuk daerah-daerah pesisir.
Apa yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui program-program yang dikelola Coremap II yang berakhir tahun 2011 ini adalah penciptaan pekerjaan alternatif di luar kegiatan tangkap ikan. Pekerjaan alternatif itu, antara lain, budi daya rumput laut dan budi daya ikan keramba. “Jadi pada intinya adalah peningkatan kesejahteraan,” katanya.
Lebih jauh dijelaskan, saat ini terumbu karang untuk skala dunia, yang masih dalam kondisi ideal atau baik hanya 6persen, selebihnya sudah dalam kondisi rusak. Untuk skala Indonesia sendiri, kondisi terumbu karang yang rusak telah mencapai 70 persen dari luas kawasan terumbu karang seluas 75.000 meter persegi.
Kerusakan terumbu karang ini, kata Sudirman Saad, terjadi di semua daerah di Indonesia. Yang paling terkenal di wilayah daerah timur adalah di Kabupaten Selayar dan Kabupaten Pangkep, keduanya di Sulawesi Selatan serta di Kabupalen Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kerusakan terumbu karang terparah di dua kabupaten ini terjadi karena maraknya tindakan illegal fishing, yakni tindak pengeboman ikan dan pembius-an ikan.
Namun melalui program-program pengelolaan terumbu karang yang dijalankan oleh Co-remap II, mulai terlihat perbaik-an sikap sehingga akti\itas illegal fishing yang merusak keberadaan terumbu karang tersebut menurun.
“Jadi penurunan aktivitas illegal fishing di laut itu bukan karena kencangnya kegiatan pemantauan atau patroli di laut oleh aparat termasuk aparat kepolisian, melainkan karena terbangunnya kesadaran masyarakat itu sendiri,” kata Sudirman Saad.
Salah satu contoh, tambahnya, di Kabupaten Pangkep, telah keluar kurang lebih 30 Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur soal kawasan Terumbu Karang yang betul-betul tidak boleh dirambah dengan melakukan kegiatan pengeboman atau pembiusan ikan.
Perdes ini, lanjut Sudirman Saad, dilengkapi sanksi bagi pelanggar seperti perahu atau alat tangkap disita, tidak bolehmenangkap ikan di tempat tertentu dalam batas waktu tertentu. Jika kerusakan terumbu karang benar-benar parah akibat ulah pelanggar ini, tidak segan-segan langsung diseret ke kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan.
Lebih jauh dijelaskan, penanganan atau pengelolaan terumbu karang melalui program yang dijalankan Coremap II berakhir tahun 2011 ini dan rencananya akan dilanjutkan lagi melalui program-program Coremap III tahun 2012 mendatang.
Soal anggaran yang akan dimanfaatkan untuk jalankan program-program Coremap III, kata Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan ini, belum dirancang. Sebagai perbandingan, program Coremap II menghabiskan dana US$75 juta.

Sumber : Jurnal Nasional
Sedikitnya 70 persen terumbu karang di Indonesia sudah rusak.
Salviah Ika Padmasarisikap@jurnas.com
Makassar | Jurnal Nasional
◄ Newer Post Older Post ►